Selasa, 01 September 2009
BUNG! KITA SAKSI DIPESTA KALI INI
-Catatan buat Sang Burung Merak
Datanglah bung!
Ada perjamuan malam ini disini
Merayakan sebuah kesadaran yang terbungkus mimpi
Seribu satu macam hidangan ‘lah tersaji
Diatas meja persegi dalam ruang warna warni
Airmata rumah yang tergusur
Puing puing peledakan bom
Jejak jejak sepatu both sisa penyerbuan
Serakan longsong peluru
Aroma busuk Lumpur yang melaut
Menggigil dalam bungkam kebisuan
Sumpah aku tak pernah mengerti
Datanglah bung!
Meski luka itu masih mengalir darah
Bukan untuk menyantap saji
Karena kita saksi dipesta kali ini
Untuk sebuah kebodohan yang terulang kembali
Sebab suatu hari nanti
Kita akan diminta pertanggung jawabannya
Meski sebenarnya aku masih belum mengerti
Segeralah bung!
Catatlah, pada lembar dalam kata peristiwa kali ini
Lihatlah, aneka macam bendera menari diudara
Dan tiang tiang yang berdiri tegap, tegas dalam keterpaksaan
Tergaris pasti dalam tiap tarik nafasnya
Sebuah kehidupan yang tak pernah dimiliki
Tawa yang kosong
Senyum yang hambar
Bahagia dalam angan
Meski terpampang disebuah stasiun telivisi
Entahlah, aku semakin tak mengerti
Sayang bung!
Kau tertidur ditengah hiruk pesta
Hingga catatanmu terselip diudara
Beri tahu aku bung!
Musti dari manakah aku melanjutkanya?
Sungguh, aku tetap tak pernah mengerti.
Banyuwangi, Agustus 2009
ANAKKU
Anakku lahir dari buah kesunyian sang putri didingin air mewangi yang mengalir
Menuntunku dalam tebing curam ngarai di pegunungan
Beriring di ambang subuh dengan langkah huyung penambang belerang
Meniti dingin kabut meyelimut sepi menjadikanya hingar
saraswati tirta arum dialah gurat yang kutorehkan pada rahim perempuanku
gadis manis bergulung senyum menemaniku yang tak tegap langkah.
Kuimpikan hadir pertamakali sastra bayu laksana sebagai jagoanku
Bentangkan payung meredam terik menjaring sejuk senja
Menemani hari bersama perempuanku diSudut Bumi
Langkah tegap menantang pusar angin yang mengencang
Acungkan pena carutkan badai mencipta kata kata
Bernamalah dee saraswati banyu arum, dee laksmi banyu arum
Jika hadirnya bersama, dan sobekan nama perempuanku telah tersanding
Erat dan kuyup membasah kota kecilku
Kunamakan mereka sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
Agar mampu berhembus seperti angin
Agar bisa mengguncang bagai gempa
Sebab jejak langkah mereka adalah jejak kami yang tertunda
Yang masih sunyi diSudut Bumi
Yang masih senyap berteman sepi
Melangkahlah anakku, disisimu kami menemani
Berteman sepi, 10 Juli 2009
Kamis, 09 Juli 2009
SULUK SUNYI
yang musti Engkau bacakan maknanya dengan pertanda
Hujan yang turun tiba-tiba malam ini tak mampu aku terjemahkan
Meski telah kuhimpitkan pada naluri terdalam
Tetetasan asa disela sela waktu hanyalah aliran Tanya yang bertanya
Tentang hatiku yang kian gamang menyeka tetes hujan
Gigil batin selaksa gletser yang menerjang tiba tiba
Bekukan jiwaku belenggu roh pada kesunyian yang senyap
Ingin ku teriakkan kegalauan ini Tuhan,
Agar menepis rintik yang menusuk kalbu
Namun, berjuta mimpi yang kubangun telah kabur diterpa hujan
Mencipta taring taring runcing tajam menusuk begitu dalam
Dan perlahan tanpa kusadar hatiku mengalir darah
Tuhan, hatiku begitu jauh dalam sunyi
Walau Engkau tahu mimpi itu melekat erat dibelakangku
Mencipta bayang diantara derai hujan
Mengikuti setiap langkah yang kutapak di sepanjang waktu
Banyuwangi, Juli 2009
AIRMATA DI LEMBAR USANG
menangislah kedukaan kali ini
membasah resah pada bibir kedustaan
lembaran usang catatan masa kanak kanak
telah sempat terbakar ujungnya
satu dua rumbai rebana masa kecil
bergetar lirih lantunan kegetiran
menangislah kedukaan kali ini
bulir bening mengendap disapu matahari
pada lekuk panjang ngarai ngarai
melukiskan hati melembab sunyi
pada lembar angin yang masai
kedukaan kali ini
bergandengan ombak memeluk airmata
melepas buih pada karang terjang
lungsur lunglai dipermadani pasir
tapak mungil
mata bening
berkaca kaca
disudut senja
menitikkan air mata
Banyuwangi, 2009
Senin, 06 Juli 2009
(Tulisan Yoga di Koran SINDO)
PETA PENYAIR MUDA JAWA TIMUR
SINDO Minggu, 01/07/2007
MENARIK sekali untuk melihat perkembangan dan dinamika para penyair muda Jawa Timur yang terlahir sesudah 1970. Generasi ini kurang lebih mulai menulis puisi pada era 90-an dan yang terlahir pada tahun 1980 mulai menulis pada 2000-an.
Dengan berbagai problematik pencarian jati dirinya. Tentu saja karena wilayah Jawa Timur mencakup daerah-daerah yang bermacam- macam geografinya, baik perkotaan, pesisir, pedesaan, dan daerah transisi, maka wajar saja hasil capaian para penyairnya bervariasi. Belum lagi, secara institusi ada yang menggeluti puisi sejak di SMA,pondok pesantren,maupun saat kuliah.
Dengan begitu, ideologi dan spirit berkarya mereka berbeda-beda pula. Ada pula yang tumbuh dan berkembang lewat komunitas-komunitas seperti Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), Sanggar Cager Gresik, Bengkel Muda Surabaya, Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan,Forum Penyair Muda Malang, sanggar sastra di ponpes Al-Amin, Prenduan, dan Anaqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Sanggar Lentera STKIP Sumenep,Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Unair Surabaya,Kelompok Studi Selasar (Kesasar) Univ Petra Surabaya,dan komunitas kampus lain.
Di Bangkalan ada Timur Budi Raja dan M Helmy Prasetya.Di Sumenep ada M Faizi,Ibnu Hajar,Moh Hamzah Arza, M Fauzi,M Zamiel El-Muttaqien,Sofyan RH Zaid,dan Edu Badrus Shaaleh.Di Jember ada Isngadi, Gunawan, Sinung Pambudi,Ali Ibnu Anwar,dan Jeni Indri. Di Banyuwangi ada Taufik Walhidayat. Di Probolinggo ada Indra Tjahyadi, Luska Vitri A.
Di Malang ada Nanang Suryadi,Abdul Mukid, Nur Lodzi Hady, Hamidin, Ragil Supriyanto, Jumairiyah Mawardy, Azizah Hefni dan Hadi Eko Suwono.Di Nganjuk ada ARS Ilalang.Di Madiun ada Panji Kuncoro Hadi. Penyair-penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren seperti penyair-penyair muda Madura umumnya mengeksplorasi spiritualitas dan lanskap alam sehingga tampak spiritual dan romantik. Meski demikian, spiritual yang terlalu tersurat juga akan mendangkalkan sifat puisi yang ambigu, prismatik, dan imajiner.
Sehingga perlu ditempuh jalan melingkar untuk menuju ke mu a r a ke s u - f i a n yang dimaksud. Sementara penyair- penyair dari komunitas Gapus atau FS3LP Unair Surabaya banyak yang berkecenderungan bersurealisme ria, macam puisinya Andre Breton atau Kriapur, dengan logika tata bahasa yang “meloncat-loncat” untuk mengejar dunia surealisme.
Beberapa penyair lebih suka menyoroti ketimpangan- ketimpangan sosial yang ada sehingga kadang estetika puisinya dikorbankan untuk mengejar tujuan si penyair, yakni mengkritik kebobrokan yang ada. Saking semangatnya, kadang mereka lupa apakah sedang menulis puisi atau konsep orasi demonstrasi esok pagi. Puisi-puisi dari generasi yang muncul di tahun 2000-an memang memiliki gaya yang tersendiri.
Namun, sublimasi dalam karya-karya mereka perlu ditingkatkan agar tidak jatuh pada puisi “xerox” atau puisi “fotokopi” dari realitas yang ada, yang monoton, tidak ada nuansa, suasana dramatik, apalagi menggetarkan. Karena itu, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama,beberapa penyair masih tampak asyik sendiri, puisi menjadi ungkapan perasaan pribadi, sehingga sifat universal dan kedalaman puisi menjadi tereduksi oleh kepentingan individu yang sentimental. Sangat diperlukan penjelajahan estetika, baik dari segi tema,materi,ungkapan maupun bentuk,agar dapat mencerminkan karakter si penyair.
Kedua,daya juang bahasa juga bukan sesederhana bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari maupun kata-kata para politikus, namun lebih kepada penciptaan efek ironi, metafora, dan substansi filosofis. Hal itu diperlukan meski memakai bahasa yang cenderung naratif dan sederhana.
Ke t i g a , karena puisi bersifat seni, maka eksplorasi bunyi, rima, irama, ritme, maupun suasana perlulah mendapat tempat yang semestinya dari sebuah puisi. Dalam tradisi lama, sudah banyak kita temukan pada kidungan, parikan, pantun, dan mantra. Namun, kadang puisi modern juga tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat bunyi saja.Ada beberapa penyair yang tidak “memedulikan” bunyi,namun lebih mengolah rasa dan suasana yang hendak dibangun sehingga memunculkan sebuah paradoks kehidupan. Ini pun tidak menjadi soal, tergantung pilihan si penyair.
Keempat, dalam berbahasa perlu dipertimbangkan daya guna bahasa. Karena sejauh-jauhnya pengembaraan berbahasa, jatuhnya juga pada komunikasi. Sutardji Calzoum Bachri dengan kredo puisi membebaskan kata dari beban pengertian, misalnya. Betapapun, bila kita simak puisinya, juga tidak jauh dari komunikasi dalam bentuk yang lebih primitif,yakni mantra. Puisi surealisme misalnya, sejarah munculnya gerakan ini sendiri bermula dari seni rupa.
Konon ada seorang pelukis yang matanya rabun,melukis sebuah bunga, karena rabun, lukisannya yang harusnya realis menjadi nampak absurd dan surealis.Karena itu, puisi surealisme yang baik tentu saja t e t a p membay a n g - k a n ( t e r b a - yang) sesuatu yang nyata dalam ketidaknyataan.Kualitas ini harus dicapai jika tidak ingin disebut sebagai puisi gelap.
Memperbincangkan puisi gelap sendiri akhir-akhir ini menjadi mengedepan. Beberapa penyair Jawa Timur telah dituduh telah melakukan kegelapan puisi.Hal ini bisa kita simak dari komentar Abdul Hadi pada lima penyair Jawa Timur yang diundang dalam Cakrawala Sastra Indonesia,2004.Mereka di antaranya W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mardi Luhung,Tjahyono Widianto,dan Tjahyono Widarmanto yang “didakwa” puisipuisi mereka penuh dengan kegelapan.
Apokalipse yang mereka gaungkan belum dapat memberikan kearifan sehingga Abdul Hadi merasa tidak mampu menyelami puisi-puisi ini. Namun, puisi gelap atau tidak masih bisa kita perbincangkan lebih lanjut karena dalam sebuah puisi yang dianggap gelap itu bisa jadi ada beberapa kemungkinan. Menurut hemat penulis, mereka sengaja melakukan perlawanan estetika sastra karena sastra Indonesia telah didominasi sastra tertentu,akhirnya mereka menebar benih sastra non-mainstream.
Posisi tawar penyair-penyair muda Jawa Timur sendiri terlihat cukup menjanjikan di masa depan sebagai potensi yang berharga. Meski demikian, semangat untuk mencari dan berkreasi tetaplah dijaga dan harus memiliki semangat tinggi, kalau tidak ingin disebut sebagai fosil penyair. Karena capaian dan keberadaan mereka ada yang sudah mampu menemukan jati diri, ada yang jalan di tempat (status quo), masih mencari jati diri, bingung (kehilangan orientasi), atau bahkan sudah mulai frustrasi.
Memang tidak mudah untuk tetap bertahan dan terus berkarya dalam nilai estetika sastra. Diperlukan wawasan yang luas.Puisi adalah pemikiran,bukan impuls semata. Sebab itu, diperlukan perjuangan dan pencarian yang tak henti- henti. Goenawan Mohamad memiliki ungkapan yang tepat: puisi (sastra) adalah semacam cinta yang keras kepala.(*)
S Yoga
Penyair tinggal di Sumenep Alumnus Sosiologi FISIP Unair
Tags: jawa timur, ragil, timur budiraja, azizah hefni, rego s. ilalang, madiun, malang, jember, surabaya, peta
Prev: Rahwana (Naskah Drama Pemenang II Lomba Dewan Kesenian Medan 2005)
Next: google
SEBUAH FRAGMENTASI
selam dalam kembara panjang remang yang berdebu
ambillah satu saja mimpimu dan gambarkan
jangan pernah setetespun keringat mengalir bebas
dan jatuh riang diatas tanah yang mulai mengering
dekil lusuh tubuh luruh
melebur dalam asa yang mengusang
retak detak jantung melirih sepi
sembur semburai darah melegam
deras bebas menghempas lepas
untuk kali ini saja
berilah penghormatan
sebab takkan pernah ada lain kali
kala malam merampas malam beringas.
Banyuwangi, 17 Desember 2008
DALAM PELUKAN DINGIN KABUT
diremang cahaya bulan yang menerobos disela-sela dedaunan
angin yang berhembus perlahan
menyusuri helai demi helai rambutmu yang kemerahan
ran, engkaulah mahakarya sempurna
yang telah Tuhan guratkan
menggurat dalam dihati sang penyair.
Banyuwangi, 29 Nopember 2008