Selasa, 01 September 2009
BUNG! KITA SAKSI DIPESTA KALI INI
-Catatan buat Sang Burung Merak
Datanglah bung!
Ada perjamuan malam ini disini
Merayakan sebuah kesadaran yang terbungkus mimpi
Seribu satu macam hidangan ‘lah tersaji
Diatas meja persegi dalam ruang warna warni
Airmata rumah yang tergusur
Puing puing peledakan bom
Jejak jejak sepatu both sisa penyerbuan
Serakan longsong peluru
Aroma busuk Lumpur yang melaut
Menggigil dalam bungkam kebisuan
Sumpah aku tak pernah mengerti
Datanglah bung!
Meski luka itu masih mengalir darah
Bukan untuk menyantap saji
Karena kita saksi dipesta kali ini
Untuk sebuah kebodohan yang terulang kembali
Sebab suatu hari nanti
Kita akan diminta pertanggung jawabannya
Meski sebenarnya aku masih belum mengerti
Segeralah bung!
Catatlah, pada lembar dalam kata peristiwa kali ini
Lihatlah, aneka macam bendera menari diudara
Dan tiang tiang yang berdiri tegap, tegas dalam keterpaksaan
Tergaris pasti dalam tiap tarik nafasnya
Sebuah kehidupan yang tak pernah dimiliki
Tawa yang kosong
Senyum yang hambar
Bahagia dalam angan
Meski terpampang disebuah stasiun telivisi
Entahlah, aku semakin tak mengerti
Sayang bung!
Kau tertidur ditengah hiruk pesta
Hingga catatanmu terselip diudara
Beri tahu aku bung!
Musti dari manakah aku melanjutkanya?
Sungguh, aku tetap tak pernah mengerti.
Banyuwangi, Agustus 2009
ANAKKU
Anakku lahir dari buah kesunyian sang putri didingin air mewangi yang mengalir
Menuntunku dalam tebing curam ngarai di pegunungan
Beriring di ambang subuh dengan langkah huyung penambang belerang
Meniti dingin kabut meyelimut sepi menjadikanya hingar
saraswati tirta arum dialah gurat yang kutorehkan pada rahim perempuanku
gadis manis bergulung senyum menemaniku yang tak tegap langkah.
Kuimpikan hadir pertamakali sastra bayu laksana sebagai jagoanku
Bentangkan payung meredam terik menjaring sejuk senja
Menemani hari bersama perempuanku diSudut Bumi
Langkah tegap menantang pusar angin yang mengencang
Acungkan pena carutkan badai mencipta kata kata
Bernamalah dee saraswati banyu arum, dee laksmi banyu arum
Jika hadirnya bersama, dan sobekan nama perempuanku telah tersanding
Erat dan kuyup membasah kota kecilku
Kunamakan mereka sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
Agar mampu berhembus seperti angin
Agar bisa mengguncang bagai gempa
Sebab jejak langkah mereka adalah jejak kami yang tertunda
Yang masih sunyi diSudut Bumi
Yang masih senyap berteman sepi
Melangkahlah anakku, disisimu kami menemani
Berteman sepi, 10 Juli 2009
Kamis, 09 Juli 2009
SULUK SUNYI
yang musti Engkau bacakan maknanya dengan pertanda
Hujan yang turun tiba-tiba malam ini tak mampu aku terjemahkan
Meski telah kuhimpitkan pada naluri terdalam
Tetetasan asa disela sela waktu hanyalah aliran Tanya yang bertanya
Tentang hatiku yang kian gamang menyeka tetes hujan
Gigil batin selaksa gletser yang menerjang tiba tiba
Bekukan jiwaku belenggu roh pada kesunyian yang senyap
Ingin ku teriakkan kegalauan ini Tuhan,
Agar menepis rintik yang menusuk kalbu
Namun, berjuta mimpi yang kubangun telah kabur diterpa hujan
Mencipta taring taring runcing tajam menusuk begitu dalam
Dan perlahan tanpa kusadar hatiku mengalir darah
Tuhan, hatiku begitu jauh dalam sunyi
Walau Engkau tahu mimpi itu melekat erat dibelakangku
Mencipta bayang diantara derai hujan
Mengikuti setiap langkah yang kutapak di sepanjang waktu
Banyuwangi, Juli 2009
AIRMATA DI LEMBAR USANG
menangislah kedukaan kali ini
membasah resah pada bibir kedustaan
lembaran usang catatan masa kanak kanak
telah sempat terbakar ujungnya
satu dua rumbai rebana masa kecil
bergetar lirih lantunan kegetiran
menangislah kedukaan kali ini
bulir bening mengendap disapu matahari
pada lekuk panjang ngarai ngarai
melukiskan hati melembab sunyi
pada lembar angin yang masai
kedukaan kali ini
bergandengan ombak memeluk airmata
melepas buih pada karang terjang
lungsur lunglai dipermadani pasir
tapak mungil
mata bening
berkaca kaca
disudut senja
menitikkan air mata
Banyuwangi, 2009
Senin, 06 Juli 2009
(Tulisan Yoga di Koran SINDO)
PETA PENYAIR MUDA JAWA TIMUR
SINDO Minggu, 01/07/2007
MENARIK sekali untuk melihat perkembangan dan dinamika para penyair muda Jawa Timur yang terlahir sesudah 1970. Generasi ini kurang lebih mulai menulis puisi pada era 90-an dan yang terlahir pada tahun 1980 mulai menulis pada 2000-an.
Dengan berbagai problematik pencarian jati dirinya. Tentu saja karena wilayah Jawa Timur mencakup daerah-daerah yang bermacam- macam geografinya, baik perkotaan, pesisir, pedesaan, dan daerah transisi, maka wajar saja hasil capaian para penyairnya bervariasi. Belum lagi, secara institusi ada yang menggeluti puisi sejak di SMA,pondok pesantren,maupun saat kuliah.
Dengan begitu, ideologi dan spirit berkarya mereka berbeda-beda pula. Ada pula yang tumbuh dan berkembang lewat komunitas-komunitas seperti Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela), Sanggar Cager Gresik, Bengkel Muda Surabaya, Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan,Forum Penyair Muda Malang, sanggar sastra di ponpes Al-Amin, Prenduan, dan Anaqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Sanggar Lentera STKIP Sumenep,Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Unair Surabaya,Kelompok Studi Selasar (Kesasar) Univ Petra Surabaya,dan komunitas kampus lain.
Di Bangkalan ada Timur Budi Raja dan M Helmy Prasetya.Di Sumenep ada M Faizi,Ibnu Hajar,Moh Hamzah Arza, M Fauzi,M Zamiel El-Muttaqien,Sofyan RH Zaid,dan Edu Badrus Shaaleh.Di Jember ada Isngadi, Gunawan, Sinung Pambudi,Ali Ibnu Anwar,dan Jeni Indri. Di Banyuwangi ada Taufik Walhidayat. Di Probolinggo ada Indra Tjahyadi, Luska Vitri A.
Di Malang ada Nanang Suryadi,Abdul Mukid, Nur Lodzi Hady, Hamidin, Ragil Supriyanto, Jumairiyah Mawardy, Azizah Hefni dan Hadi Eko Suwono.Di Nganjuk ada ARS Ilalang.Di Madiun ada Panji Kuncoro Hadi. Penyair-penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren seperti penyair-penyair muda Madura umumnya mengeksplorasi spiritualitas dan lanskap alam sehingga tampak spiritual dan romantik. Meski demikian, spiritual yang terlalu tersurat juga akan mendangkalkan sifat puisi yang ambigu, prismatik, dan imajiner.
Sehingga perlu ditempuh jalan melingkar untuk menuju ke mu a r a ke s u - f i a n yang dimaksud. Sementara penyair- penyair dari komunitas Gapus atau FS3LP Unair Surabaya banyak yang berkecenderungan bersurealisme ria, macam puisinya Andre Breton atau Kriapur, dengan logika tata bahasa yang “meloncat-loncat” untuk mengejar dunia surealisme.
Beberapa penyair lebih suka menyoroti ketimpangan- ketimpangan sosial yang ada sehingga kadang estetika puisinya dikorbankan untuk mengejar tujuan si penyair, yakni mengkritik kebobrokan yang ada. Saking semangatnya, kadang mereka lupa apakah sedang menulis puisi atau konsep orasi demonstrasi esok pagi. Puisi-puisi dari generasi yang muncul di tahun 2000-an memang memiliki gaya yang tersendiri.
Namun, sublimasi dalam karya-karya mereka perlu ditingkatkan agar tidak jatuh pada puisi “xerox” atau puisi “fotokopi” dari realitas yang ada, yang monoton, tidak ada nuansa, suasana dramatik, apalagi menggetarkan. Karena itu, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama,beberapa penyair masih tampak asyik sendiri, puisi menjadi ungkapan perasaan pribadi, sehingga sifat universal dan kedalaman puisi menjadi tereduksi oleh kepentingan individu yang sentimental. Sangat diperlukan penjelajahan estetika, baik dari segi tema,materi,ungkapan maupun bentuk,agar dapat mencerminkan karakter si penyair.
Kedua,daya juang bahasa juga bukan sesederhana bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari maupun kata-kata para politikus, namun lebih kepada penciptaan efek ironi, metafora, dan substansi filosofis. Hal itu diperlukan meski memakai bahasa yang cenderung naratif dan sederhana.
Ke t i g a , karena puisi bersifat seni, maka eksplorasi bunyi, rima, irama, ritme, maupun suasana perlulah mendapat tempat yang semestinya dari sebuah puisi. Dalam tradisi lama, sudah banyak kita temukan pada kidungan, parikan, pantun, dan mantra. Namun, kadang puisi modern juga tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat bunyi saja.Ada beberapa penyair yang tidak “memedulikan” bunyi,namun lebih mengolah rasa dan suasana yang hendak dibangun sehingga memunculkan sebuah paradoks kehidupan. Ini pun tidak menjadi soal, tergantung pilihan si penyair.
Keempat, dalam berbahasa perlu dipertimbangkan daya guna bahasa. Karena sejauh-jauhnya pengembaraan berbahasa, jatuhnya juga pada komunikasi. Sutardji Calzoum Bachri dengan kredo puisi membebaskan kata dari beban pengertian, misalnya. Betapapun, bila kita simak puisinya, juga tidak jauh dari komunikasi dalam bentuk yang lebih primitif,yakni mantra. Puisi surealisme misalnya, sejarah munculnya gerakan ini sendiri bermula dari seni rupa.
Konon ada seorang pelukis yang matanya rabun,melukis sebuah bunga, karena rabun, lukisannya yang harusnya realis menjadi nampak absurd dan surealis.Karena itu, puisi surealisme yang baik tentu saja t e t a p membay a n g - k a n ( t e r b a - yang) sesuatu yang nyata dalam ketidaknyataan.Kualitas ini harus dicapai jika tidak ingin disebut sebagai puisi gelap.
Memperbincangkan puisi gelap sendiri akhir-akhir ini menjadi mengedepan. Beberapa penyair Jawa Timur telah dituduh telah melakukan kegelapan puisi.Hal ini bisa kita simak dari komentar Abdul Hadi pada lima penyair Jawa Timur yang diundang dalam Cakrawala Sastra Indonesia,2004.Mereka di antaranya W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mardi Luhung,Tjahyono Widianto,dan Tjahyono Widarmanto yang “didakwa” puisipuisi mereka penuh dengan kegelapan.
Apokalipse yang mereka gaungkan belum dapat memberikan kearifan sehingga Abdul Hadi merasa tidak mampu menyelami puisi-puisi ini. Namun, puisi gelap atau tidak masih bisa kita perbincangkan lebih lanjut karena dalam sebuah puisi yang dianggap gelap itu bisa jadi ada beberapa kemungkinan. Menurut hemat penulis, mereka sengaja melakukan perlawanan estetika sastra karena sastra Indonesia telah didominasi sastra tertentu,akhirnya mereka menebar benih sastra non-mainstream.
Posisi tawar penyair-penyair muda Jawa Timur sendiri terlihat cukup menjanjikan di masa depan sebagai potensi yang berharga. Meski demikian, semangat untuk mencari dan berkreasi tetaplah dijaga dan harus memiliki semangat tinggi, kalau tidak ingin disebut sebagai fosil penyair. Karena capaian dan keberadaan mereka ada yang sudah mampu menemukan jati diri, ada yang jalan di tempat (status quo), masih mencari jati diri, bingung (kehilangan orientasi), atau bahkan sudah mulai frustrasi.
Memang tidak mudah untuk tetap bertahan dan terus berkarya dalam nilai estetika sastra. Diperlukan wawasan yang luas.Puisi adalah pemikiran,bukan impuls semata. Sebab itu, diperlukan perjuangan dan pencarian yang tak henti- henti. Goenawan Mohamad memiliki ungkapan yang tepat: puisi (sastra) adalah semacam cinta yang keras kepala.(*)
S Yoga
Penyair tinggal di Sumenep Alumnus Sosiologi FISIP Unair
Tags: jawa timur, ragil, timur budiraja, azizah hefni, rego s. ilalang, madiun, malang, jember, surabaya, peta
Prev: Rahwana (Naskah Drama Pemenang II Lomba Dewan Kesenian Medan 2005)
Next: google
SEBUAH FRAGMENTASI
selam dalam kembara panjang remang yang berdebu
ambillah satu saja mimpimu dan gambarkan
jangan pernah setetespun keringat mengalir bebas
dan jatuh riang diatas tanah yang mulai mengering
dekil lusuh tubuh luruh
melebur dalam asa yang mengusang
retak detak jantung melirih sepi
sembur semburai darah melegam
deras bebas menghempas lepas
untuk kali ini saja
berilah penghormatan
sebab takkan pernah ada lain kali
kala malam merampas malam beringas.
Banyuwangi, 17 Desember 2008
DALAM PELUKAN DINGIN KABUT
diremang cahaya bulan yang menerobos disela-sela dedaunan
angin yang berhembus perlahan
menyusuri helai demi helai rambutmu yang kemerahan
ran, engkaulah mahakarya sempurna
yang telah Tuhan guratkan
menggurat dalam dihati sang penyair.
Banyuwangi, 29 Nopember 2008
PEMBAWA BERITA
jika memang ia membawa berita darimu
mengapa ia masih membisu
bukankah kau tahu ran,
hatiku begitu berat memendam kejujuran
tentang rasa yang kian tumbuh
Bwi, 28 Nopember 2008
MAKNAILAH SAJAKKU
mengarungi setiap sudut mimpi malam-malam panjang
dan kita lukis sebuah garis yang penuh warna
menggurat tegak lurus diatas kanvas
gambaran catatan perjalanan kita
kau tahu ran, kuingin kita selalu bersama
mengeja waktu diiringi nyanyian jengkrik dimalam buta
tapi entahlah ran, acapkali keraguan menggugurkan mimpi-mimpiku
atau larutkan asa dalam desah nafas kita
padahal inginku adalah nyata yang hadir disetiap lamunan
bukan hanya sebuah mimpi yang hilang saat pagi 'lah datang
jika sempat kau baca ran, tolong maknai sajakku
agar puisiku tak lagi sia
Banyuwangi, 01 Desember 2008
MEMABAYANG RAUT WAJAHMU
seperti membaca sebuah cerpen dikoran pagi
mengingatkanku pada senyummu
setiap kata mengalir teratur mencipta lukisan abstrak
maknanya membias siluet bayang raut wajahmu
memaksaku tuntaskan sampai akhir kisah.
tanpa sadar ran, bibirku bernyanyi kecil
sepasang kakiku menghentak menari
getarkan dalam ruang ini
bayangmu meliuk indah disisi lain menemani.
sebersit asa ran, melintas sejenak
menepis ragu yang menggerogoti diri
karna tak ingin ku lena dalam mimpi-mimpi semu
demi sebuah kemungkinan jadikanlah aku pedangmu
menepis gamang menebas mimpi.
Banyuwangi, 6 Desember 2008
Sajak Tentang Kau
maafkan aku ran,
jika malam ini tiba-tiba saja aku merasa aneh
tidak seperti biasanya percakapan kita kelu
entahlah, sempat kubaca kegelisahan
mengalir dari kata yang terucap dari bibirmu
oh ya, aku menagih janjimu tadi pagi ran,
kau akan menuliskan kegelisahanmu selama ini
sepertinya kehidupan ini telah menghimpit jiwamu
dan menjelma badai sesakkan nafas
sempat ku baca diantara percakapan kita.
sempat kuceritakan padamu tentang pertemuan kita semalam
menyapaku sekilas namun entahlah, kau undur diri
meningalkan aku dalam kegelisahan panjang, sepi
sunyi ran, memelukku sepanjang waktu
penatian yang sia hingga aku terjaga.
Banyuwangi, 13 Desember 2008
MENCATAT PERTEMUAN KITA
membaca gumpalan awan disore ini
pantai beku oleh desir angin mendingin
jari jari lentik busa pantai
erat cengkaram bibir gelombang
menghitung setiap ruas karang yang terhempaskan
sirami semburai bulir air yang membuncah
hai lihatlah!
sepasang keong di permadani pantai
merangkak tertatih menandai persinggahan kita kali ini
disini dipantai yang tetap setia
menyimpan setiap jejak kaki yang menggurat dalam di legam pasir
sore ini kawan, pada pertemuan ini
kita 'lah memaknainya dengan goresan tipis
mencatat tawa kita menjadi sebuah anekdot segar
seperti tegukan taerkhir juice yang mengalir di tenggorokan kita
hari kian temaram
kita pergi pulang dengan senyum yang menyisa
Pernah pada suatu hari
Kudapati gelisahmu di ujung subuh
Tentang kupu-kupu yang di sayapnya
Terluka sebelah dan tak dapat lagi
Menyeret pintu samudra diambang pagi
Banyuwangi, 2009
FATAMORGANA RINTIK HUJAN
pagi ini aku mengirimimu hujan
agar mengusap derai mimpi semalam
menggulung beku menggurat jilbab
rona merah membersit makna
pagi ini aku mengirimimu hujan
garis lurus membenam jiwa
gairah alam berkerudung kabut tipis
menari lembut sejukkan jiwa
mencoba kembali mengingat percakapan kita
seperti melukis raut wajahmu disejuk derai gerimis
lihatlah raey, indah warna pelangi 'lah membingkainya
mengabarkan sebuah kejujuran hati kita
ah mimpi semalamn masih saja lenakan kesadaranku pagi ini
entahlah, menggurat sebayang sepi
digumpal kelabu awan dalam bait bait sajak
kibar jilbabmu hembuskan angin sejukkan jiwa
andai saja Raey, tatap kita tak sekadar bayang
yang hilang kala bias cahaya datang
mungkin hari-hari ini penuh dengan sajak berlumur senyum
Banyuwangi, Februari 2009
EPILOG AIR MATA
tenggelam dihiruk pikuk asap dari pipa kecil
lalulalang kendaraan malam ini
ah, bayangmu membias dari pijar terang lampu kota
raey, jugakah siluet bayangku melintas walau sekadar, entahlah
untuk kali ini aku hanya bisa berharap
seperti gerah geliat malam yang kian merangkak sepi
membenamku dalam dingin menerawang khayal panjang
mengingat percakapan kita sore tadi raey,
kelopak matamu menggulung sepi mendalam
menghantarkan titik titik hujan sisa masa lalu
menggaris jelas dikerut keningmu
seharusnya kata kita habis diujung sua
memenuhi lembar demi lembar halaman buku usang
yang coba kita tulis kembali menjadi sebuah sajak
Banyuwangi, 28 Maret 2009
CAKAPLAH MESKI SEJENAK
ran, semalam jiwaku mengembara
menemuimu meski hanya sebentar saja
saat itu aku bawakan kejujuran padamu
dan kulihat sebuah senyum tersungging dibibirmu
hingga kulihat jelas sepasang lesung pipitmu ,menjelma ngarai
diantara gunung-gunung dan pepohonan
ran, cakaplah denganku walau sejenak
agar kutahu hatimu'lah menyimpan sajak-sajakku
membayangmu adalah bait puisi yang tak kan pernah habis
Banyuwangi, 28 Nopember 2008
SURAT KEPADA RAN 1 dan 2
pagi ran, mungkin saja baru pagi ini sempat kau baca suara kalbu ini
sebab semalam engkau tidur dengan pulas sekali
setelah seharian bergulat dengan gemerlap pijar lampu yang menyilaukan
ran aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa peracakapan kita
di perlehatan sakral itu penuh makna bagiku
meski kau hanya ucap sepintas lalu
ucapmu adalah anugerh bagiku
tapi tahukah kau ran saat itu hatiku laksana terhempas gletser
dingin sedingin beku
sejuk sesejuk embun yang jatuh didedaunan
ran , adakah bahasa yang sanggup ungkap bahagia ini
saat kutahu kau baca setiap sajak
yang kukirim padamu disetiap titik dua belas
dan yakinlah ran, aku pasti datang padamu bukan hanya sajak
seperti janjiku padamu saat itu
tak lupa kubawa serta segala kejujuran yang pernah kumiliki
itupun jika ada sepatah kata kepastian darimu
ran, dibawah kegamangan dan keraguan mungkin
aku menggigil diam seribu bahasa
tersiksa waktu yang tersenyum beku disudut sunyi.
Banyuwangi,. 02 Desember 2008
SURAT KEPADA RAN 2
seperti biasanya ran, malam inipun aku asyik sekali mengeja kata
meski sebenarnya seluruh tubuhku serasa penat
tapi entahlah ran, mata hati ini masih mengajakku mengembara
menyusuri jalan-jalan setapak sepi kedalaman sunyi
dan tiap langkah kaki adalah nyanyian sepi
yang melantun lirih diatas kerikil beku
dingin ran, malam ini dingin sekali
kucoba menyelimuti diri dengan sepenggal sajak tentang kepahlawanan
yang sempat kubaca dari sebuah koran sore tadi
namun dingin ini masih menghinggapiku
dan tiba-tiba saja fikiranku terpaku pada zodiak yang terpampang di pojok halaman
taurus asmara minggu ini dia sedang tidak enak hati bla bla bla
kuda asmara bulan ini sedang baik dia masih ragu bla bla bla
ah, tidak mengenakkan sekali zodiakku kali ini
untung saja aku tak sedikitpun mempercayainya
oh ya ran, aku lupa mengatakannya padamu
bahwa tadi siang aku sempat melukis sketsa wajahmu
meski hanya sebuah sketsa hitam putih
namun tergurat jelas didinding hatiku
sebuah namamu terukir dibawahnya dengan huruf penuh cinta
bukankah kautahu ran, aku tak bisa lepas dari bayangmu.
ran, dikejauhan lonceng berdentang tiga kali
memaksaku lelap sejenak
kuatkan diri untuk esok pagi
agar kita bisa bertemu cakap tanpa rasa kantuk
Banyuwangi, 03 Desember 2008
RAMBUT MERAHMU RAN
Aku melihatmu lagi disini
diantara tanjakan tangga sudut jam tayang
seperti biasanya aku berdiri saja
merapikan rambutmu yang kemerahan acap kulakukan
sekadar mengusir sepi menepis color bar ditelevisi
kau tetap diam tenggelam dalam carut toolbar
terdengar desah lirih dari bibirmu
bangkit bersama sehelai rambut merah yang jatuh
lihatlah ran, bentangan rambutmu diatas karpet
menjelma lorong berdinding pekat
dan jika masih tersisa waktumu kali ini
kutunggu kau disana menggurat kisah bersama.
Banyuwangi, 7 Desember 2008
KABAR SUNYI MALAM
malam ini jam diruangku berhenti berdetak
apakah baterainya habis?, entahlah
dihalaman kulihat kabut tipis turun perlahan
kabarkan sunyi malam menggigil
senyap, tak kudengar nyanyian jengkrik seperti biasanya
sepertinya mereka 'lah lelap di ujung malam
sepertimu ran, lelap bersama senyum tersungging dibibir
ah, jika mengingatmu kerinduanku tak pernah habis
sebenarnya aku ingin melintas dalam panjang mimpi-mimpimu
bukan hanya sekedar duduk diam dalam kurung malu
sempat terfikir olehku untuk meminta pada Tuhan
mengutus malaikat turun mengetuk pintu hatimu
agar aku dapat duduk diam bukan hanya sejenak
BANYUWANGI, 6 DESEMBER 2008
Sajak sajakku
telah kularung kenangan terakhir dari lirik puisi sepi
membawanya dalam bentang samudera tak berujung tepi
semuanya ran, untuk suatu hari yang telah kita lalui
dan hari nanti yang tak pernah kita tahu pasti
ran, ini kukabarkan padamu
bahwa cinta adalah hal aneh yang mampu tepis segala aral
mungkinkan mimpi jadi kenyataan
untuk itu 'lah kutambatkan perahuku di pantaimu
setelah berlayar jauh hingga batas tak bernama
jadilah bintang atau purnama
agar dapat kubaca setiap helaan nafas dan langkah-langkahku
hingga aku tak lagi sesat dalam pelayaran.
Banyuwangi, 5 Desember2008
sajak Rindu
aneh tidak sepeti biasanya
jiwaku terasa kosong dan gersang
tak sebaris katapun hadir dan menari riang
biasanya geraknya mencipta angin sejukkan jiwa
maafkan aku ran, semalam aku tak menemuimu
walau seribu kerinduan hentakkan dada
kadangkala aku butuh diam
tidur sejenak istirahatkan jiwa
meski nyanyian kerinduan masih terdengar lirih
beriring bersama deru nafas yang memberat
gila bukan, padahal tiap hari kita bertemu
memandangmu dibalik tabir acapkali aku lakukan
tetapi entahlah ran, diri seperti berlari dalam panas
habiskan teguk tak hilang dahaga
Banyuwangi, 5 Desember 2008